Jumat, 29 Mei 2015

Pengolaan hama penyakit terpadu _ kenapa harus PHT

TUGAS
MATA KULIAH
PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT TERPADU





Oleh :

                                          F I T M A N                   :    D1B1 12 067
          ASTI FINDAYANI       :    D1B1 12 069
                   KELAS                            :    GANJIL               



PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015


SOAL
1.      Kenapa Harus PHPT ?

Ruang Lingkup PHPT
PHT adalah suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Sebagai sasaran teknologi PHPT adalah : 1) produksi pertanian mantap tinggi, 2) Penghasilan dan kesejahteraan petani meningkat, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara ekonomi tidak merugikan dan 4) Pengurangan resiko pencemaran Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan
Dengan konsep pengendalian hama dan penyakit terpadu yang semakin menunjukan peningkatan pengguaan dan aplikasinya, konsep pengendalian hama dan penyakit yang menerapakan penggunaan pestisida mulai ditinggalkan.
Konsep perlindungan hama dan penyakit menggunakan pestisida ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan hidup yang menjaga kelestarian lingkungan dan keragaman hayati serta hilangnya beberapa musuh alami hama dan penyakit.
Konsep lain yang mulai ditinggalkan adalah pertanian secara intensif  baik dalam budidaya maupun penanggulangan hama dan penyakit. Konsep penanggulangan ini hanya berkonsentari terhadap produksi dan mutu hasil budidaya tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan seperti adanya zat-zat beracun yang ikut terbawa oleh hasil panen, hilangnya karegaman biota, dan dampak lainnya yang timbul akibat pertanian secara intensif tersebut.
Gangguan OPT dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas hasil serta kematian tanaman. Adanya ancaman OPT terhadap tanaman budi daya mengharuskan petani dan perusahaan pertanian melakukan berbagai upaya pengendalian. Sejarah perkembangan pengendalian hama dan penyakit di Indonesia dimulai sejak periode sebelum kemerdekaan, 1950-1960-an, 1970-an, dan 1980 sampai sekarang.

Sejarah PHPT

Pada zaman prapestisida, pengendalian hama dilakukan dengan cara bercocok tanam dan pengendalian hayati berdasarkan pemahaman biologi hama. Cara ini telah dilakukan oleh bangsa Cina lebih dari 3000 tahun yang lalu. Pada tahun 2500 SM, orang Sumeria menggunakan sulfur untuk mengendalikan serangga tungau (Flint dan van den Bosch 1990). Pengendalian secara bercocok tanam dan hayati pada tanaman padi telah dilakukan di Indonesia sejak zaman kerajaan di Nusantara, mulai dari Kerajaan Purnawarman, Mulawarman, Sriwijaya, Majapahit, Mataram sampai era penjajahan Belanda.
Zaman optimisme terjadi pada tahun 1945-1962. Pada zaman itu dimulai penggunaan insektisida diklor difenol trikloroetan (DDT), fungisida ferbam, dan herbisida 2,4 D (Flint dan van den Bosch 1990). Selama lebih kurang 10 tahun, penggunaan pestisida menjadi bagian rutin dari kegiatan budi daya tanaman, seperti halnya pengolahan tanah dan pemupukan. Pada zaman optimisme, pengendalian OPT tidak memerhatikan perkembangan pemahaman biologi hama maupun penyakit. Petani ingin pertanamannya bebas hama sehingga melakukan aplikasi pestisida secara berjadwal dan berlebihan.
Zaman keraguan diawali dengan terbitnya buku Silent Spring oleh Carson (1962) yang membuka mata dunia tentang seriusnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh DDT. Buku tersebut merupakan tangis kelahiran bayi dari gerakan peduli lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan berbagai jenis pestisida merusak kelestarian lingkungan biotik dan abiotik di daerah beriklim sedang maupun tropik.
Tahun 1970 merupakan awal dari revolusi hijau pestisida, pupuk sintetis, dan varietas unggul (IR5, IR8, C4, Pelita I-1, dan Pelita I-2), yang merupakan paket produksi. Teknologi baru ini mendorong timbulnya permasalahan wereng coklat, yaitu munculnya biotipe baru. Zaman PHT diperkuat oleh terbentuknya KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tanggal 14 Juni 1992, mengadopsi seksi I Integrated Pest Management and Control in Agriculture dari Agenda 21 Bab 14 tentang Promoting Sustainable Agriculture and Rural Development (Norris et al. 2003). PHT dicetuskan oleh Stern et al. (1959). Selanjutnya, paradigma PHT berkembang dan diperkaya oleh banyak pakar di dunia serta telah diterapkan di seluruh dunia. Di Indonesia, PHT didukung oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Inpres No 3/1986 yang melarang 57 jenis insektisida, dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. Pada tahun 1996 keluar keputusan bersama antara Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian tentang batas maksimum residu, serta UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan.
Pengelolaan hama dan penyakit terpadu dimulai sejak satu abad yang lalu, para pakar perlindungan tanaman telah mengetahui bahwa pengendalian hama dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami, tanaman resisten, dan pengelolaan lingkungan (rotasi tanaman, sanitasi, dan pengelolaan tanah) (Sastrosiswojo 1989). Pengertian PHT atau integrated pest control ata  integrated pest management adalah system pengambilan keputusan dalam memilih dan menerapkan taktik pengendalian OPT yang dipadukan ke dalam strategi pengelolaan usaha tani dengan berdasarkan pada analisis biaya/manfaat, dengan mempertimbangkan kepentingan dan dampaknya pada produsen, masyarakat, dan lingkungan.
Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu Dengan banyaknya hama, penggunaan musuh alami menjadi tidak dapat diandalkan lagi. Selanjutnya konsep pengendalian hama dan penyakit terpadu mulai dikembangkan dengan penekanan bahwa insektisida masih tetap digunakan, tetapi secara efektif, dengan demikian musuh alamimasih dapat dipertahankan keberadaannya di ekosistem. Integrasi teknik ini kemudiandikembangkan lebih lanjut, termasuk di sini adalah penggunaan teknik lain seperti tumbuhanresisten dan sanitasi, juga pelestarian musuh-musuh alami yang sudah merupakan suatukeharusan dalam pengendalian terpadu ini.
PHPT bukan tujuan, melainkan suatu pendekatan ilmiah untuk mencapai sasaran, yaitu pengendalian hama agar secara ekonomis tidak merugikan, mempertahankan kelestarian lingkungan, serta menguntungkan petani dan konsumen (Sastrosiswojo 1989; Oka 1992).
PHPT pada awalnya adalah perpaduan antara pengendalian secara hayati dan pengendalian kimiawi. Konsepsi tersebut kemudian berkembang menjadi perpaduan semua cara pengendalian dalam satu kesatuan untuk mencapai hasil panen yang optimal dan dampak eksternal terhadap lingkungan yang minimal
PHPT diperkenalkan sehingga penggunaan pestisida berkurang. Pengendalian hama Cara alami untuk mengontrol hama yang telah berlangsung selama berabad-abad adalah hubungan  yang  saling  mempengaruhi  dalam  ekosistem.  Hal  ini  meliputi  tersedianya jumlah predator hama untuk mengendalikan hama itu sendiri. Karena kualitas lingkungan dan hubungan yang saling menguntungkan dalam ekosistem telah tercemar oleh pengelolaan yang salah dan polusi (termasuk polusi akibat agrikultur yang tidak berkelanjutan), mengakibatkan punahnya predator hama, yang merupakan salah satu sebab dari meningkatnya permasalahan hama.
Dengan demikian, falsafah PHPT adalah suatu pendekatan pertanian berkelanjutan dengan landasan ekologi yang kokoh, bukan melakukan pemberantasan atau pemusnahan hama dan penyakit, tetapi mengelola atau mengendalikan tingkat populasi hama atau penyakit agar tetap berada di bawah ambang kerusakan secara ekonomis. Meningkatnya populasi hama disebabkan oleh berkurangnya musuh alami serta timbulnya resistensi dan resurjensi. Sebagai contoh adalah kasus meningkatnya populasi wereng coklat.